WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo October 24, 2023

Local Food Market Initiative from West Muna (bahasa Indonesia)

Country:

Authors:
cars and trucks in a rainforest
English

The diversity of food sources and culture which is the foundation of a sustainable local food system...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS
Pedagang menjajakan ubi, jagung, dan berbagai olahan pangan lokal lainnya di Pasar Lawa, Kelurahan Wamelai, Muna Barat, Sulawesi Tenggara, Jumat (25/8/2023). Masyarakat di wilayah ini masih lekat dengan pangan lokal meski konsumsi beras dominan.
Vendors sell sweet potatoes, corn, and various other processed local foods at Lawa Market, Wamelai Village, West Muna, Southeast Sulawesi on August 25, 2023. People in this region are still attached to local food even though rice consumption is dominant. Image by Saiful Rijal Yunus. Indonesia.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.


In West Muna Regency, Southeast Sulawesi, the Pasar Malam Pojok, or Night Market, is a thriving local food market run by women, providing a variety of non-rice dishes such as cassava, corn, and other tubers. The market not only offers economic support to female farmers but also plays a vital role in preserving local culinary traditions. This initiative came to life in October 2022, spearheaded by Ali Ode Pua, who recognized the need to revive the local economy after the pandemic and promote traditional local foods.

Residents visit the market daily, either to take home local dishes or enjoy them on the spot. Ali is a regular customer, often preferring the flavors of home-cooked meals offered at the market. He says it is essential to rekindle an appreciation for local foods, as younger generations have increasingly turned to instant and processed foods. The Muna region, known for its sweet potatoes, corn, beans, and other local produce, is rich in culinary heritage that the market aims to preserve.

The market's impact extends beyond culinary traditions; it provides an opportunity for local women to support their families and sustain local farming practices. Vendors like Wa Kalina serve a range of dishes crafted from corn and cassava, such as kambose and kagili, and contribute to their families' finances. The market represents a successful effort to maintain and promote local foods, particularly among children, as local consumption habits shift toward more processed and imported food options.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Inisiatif Pasar Pangan Lokal dari Muna Barat

Di tengah gempuran beras dan terigu, masyarakat Wamelai berinisiatif buka pasar malam menjajakan beragam masakan lokal.

Tiap malam, di pinggir jalan kampung di Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara, para perempuan menjajakan aneka pangan nonberas, seperti jagung, singkong, dengan beragam umbi-umbian lain, dengan lauk-pauk dan sayur dari ragam bahan lokal. Tak hanya jadi penopang ekonomi perempuan petani, pasar ini juga menjadi benteng bagi warga setempat untuk mempertahankan pangan lokal.

Hari mulai gelap ketika para pedagang makanan, semuanya perempuan, menggelar masakannya di balai-balai semiterbuka, di perempatan jalan di Kelurahan Wamelai, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara, Jumat (25/8/2023). Pasar Malam Pojok adalah sebutan bagi tempat berjualan ibu-ibu di sebuah kelurahan kecil di Pulau Muna ini. Para pedagang menyajikan makanan dalam panci-panci yang dijajar di atas balai-balai.

Harni (32) menjadi salah satu pengunjung pertama yang datang sore itu. Ibu dua anak ini lalu membeli sayur bunga pepaya dan ikan kapinda atau ikan pindang. Tidak lupa ia juga membeli kambose, jagung pipil yang direbus dan menjadi pangan pokok orang Muna. Ia mengeluarkan uang Rp 20.000 untuk semua makanan itu.

”Kami di rumah berempat, dengan anak dan suami. Sengaja beli makanan ini biar anak-anak tidak makan beras terus,” kata warga Desa Latompe. Desa ini bertetangga dengan Kelurahan Wamelai.


Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!


https://cdn-assetd.kompas.id/uPnkv-kZsOYFy_BhkPlSA9dSrX4=/1024x761/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F27%2Fa023f399-b610-41d4-92a2-e717bdc99b94_png.png

Hingga malam, sejumlah pembeli berdatangan. Sebagian besar orang membeli untuk dibawa pulang. Namun, ada juga yang makan di tempat, salah satunya Lurah Wamelai Ali Ode Pua (29). Malam itu, dia memesan beragam pangan lokal yang disajikan warganya.

”Sering juga makan di sini kalau lagi ingin makan-makanan rumahan. Semuanya murah dan enak,” kata Ali mempromosikan masakan itu.

Ali lahir dan besar di desa tetangga, Lagandi, Kecamatan Lawa. Dia masih bujang sehingga kerap makan di luar rumah. Masakan lokal dan rumahan yang dijajakan para perempuan itu menjadi oasenya. ”Masakan di desa saya dan di sini hampir sama. Ini makanan yang biasa saya makan kalau di rumah orangtua,” katanya.

Ali merupakan inisiator pasar malam yang mulai dibuka pada Oktober 2022 itu. Ia baru menjabat sebagai lurah di pengujung pandemi Covid-19. Dia ingin memulihkan ekonomi warga setelah pandemi dan akhirnya terpikir ide untuk membuka pasar pangan lokal yang keberadaannya semakin tergeser beras dan pangan instan.

Dia kemudian memanfaatkan dana kas kelurahan yang terbatas dengan membuat tempat berjualan serupa balai-balai panjang di dekat perempatan. ”Saat itu belum terpikir siapa yang menjual dan siapa saja pasarnya. Pokoknya bikin dulu dan umumkan siapa yang mau menjual, silakan ambil tempat sendiri di lokasi yang disediakan,” ujarnya.

Wa Kalina (55) menunjukkan jagung tua yang telah diolah menjadi kambose di Kelurahan Wamelai, Lawa, Muna Barat, Sulawesi Tenggara, Sabtu (26/8/2023). Jagung masih menjadi bagian erat dalam konsumsi masyarakat sehari-hari.
Wa Kalina (55) menunjukkan jagung tua yang telah diolah menjadi kambose di Kelurahan Wamelai, Lawa, Muna Barat, Sulawesi Tenggara, Sabtu (26/8/2023). Jagung masih menjadi bagian erat dalam konsumsi masyarakat sehari-hari. Foto oleh Saiful Rijal Yunus. Indonesia.

Untuk memancing masyarakat datang saat pertama kali pasar dibuka, ia menyelenggarakan lomba domino. Tidak disangka, antusiasme warga sangat tinggi dan jualan ibu-ibu ludes. Kondisi itu berlangsung tidak hanya semalam, tetapi juga sampai berbulan-bulan.

Kampanye pangan lokal, tambah Ali, memang menjadi salah satu fokus utamanya. Sebab, selain terpinggirkan, anak-anak lebih memilih memakan makanan instan dan tidak lagi menggemari berbagai bentuk olahan pangan lokal.

Padahal, wilayah Wamelai dan daratan Muna secara luas memiliki banyak pangan lokal yang telah menjadi ciri khas selama ratusan tahun. Olahan berbahan dasar ubi, jagung, hingga kacang-kacangan merupakan warisan yang tidak ternilai.

”Kita punya ubi, punya jagung. Itu bisa didapatkan dari kebun tanpa harus beli. Dan pengolahannya juga telah lama dilakukan, ibarat kata, mama-mama kita mungkin tutup mata kalau bikin. Jadi, kenapa harus beli makanan instan dan makan beras setiap hari?” katanya.

https://cdn-assetd.kompas.id/V44nCl6PhKYD32kswtTnelozDkk=/1024x1318/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F09%2Fb744670b-54ab-4080-b4d3-77201f59f788_jpg.jpg

Ali, yang lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) tahun 2016 ini, pernah bertugas di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan dia mengalami sulitnya warga lokal di sana mencari panganan lokalnya. Selain untuk menjaga keberagaman pangan lokal, pasar malam ini juga bisa membantu ekonomi para perempuan.

Hasil kebun

Wa Kalina (55), salah satu penjual makanan itu, merasa senang dengan dibukanya Pasar Malam Pojok ini. Ibu tiga anak ini menyajikan beragam pangan lokal, terutama yang berbahan jagung dan singkong.

Malam itu, Kalina menjajakan menu nonberas berupa kambose, kagili, dan kabuto. Jika kambose adalah jagung pipil yang hanya dimasak, maka kagili adalah kambose yang telah digiling. Kagili itu biasanya ditambah kelapa parut dan garam untuk menambah cita rasa. Satu kantong plastik kagili dijual seharga Rp 5.000.

Sementara itu, kabuto merupakan olahan singkong kering. Olahan ini berbahan dasar singkong yang telah diperam dan dijemur hingga menghitam dan tahan disimpan lama. Untuk mengolahnya, kabuto ini cukup dengan dikukus. Sebagian orang juga bisa menumbuknya terlebih dahulu sehingga hancur, baru dikukus. Rasanya legit dan kenyal.

Wa Kalina (55) memipil jagung tua untuk membuat berbagai olahan, seperti kambose dan kagili, di Kelurahan Wamelai, Lawa, Muna Barat, Sulawesi Tenggara, Sabtu (26/8/2023).
Wa Kalina (55) memipil jagung tua untuk membuat berbagai olahan, seperti kambose dan kagili, di Kelurahan Wamelai, Lawa, Muna Barat, Sulawesi Tenggara, Sabtu (26/8/2023). Foto oleh Saiful Rijal Yunus. Indonesia.

”Sejak (pasar malam) pertama dibuka, saya sudah mulai ikut menjual. Memang, biasa menjual di pasar (pagi) juga, tetapi hanya jual ubi (singkong) dan kacang mentah saja. Kalau di sini makanan jadi yang kami jual,” ujarnya.

Menurut Kalina, sebagian besar bahan dasar untuk olahan ini dia tanam sendiri dan sebagian lagi dibeli dari tetangga yang berjualan di pasar. Untuk singkong, ia mendapatkannya dari kebun. Sementara untuk olahan jagung, bahan utamanya dia beli. Sebab, meski punya kebun jagung, hasil panennya disimpan untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Meski tidak menentu, penghasilan dari berjualan di pasar bisa membantu keuangan keluarga. Penghasilan itu termasuk untuk membantu biaya kuliah anak bungsunya yang baru saja sarjana menyusul dua kakaknya yang juga telah sarjana.

Tepat di sebelah Kalina, Hardiah (42) duduk menjajakan dagangannya. Ibu lima anak ini menyajikan kambose, lapa-lapa atau lepat dari jagung, sayur terong, dan ikan kapinda. Bersama ibu-ibu lainnya, ia telah berjualan di tempat ini satu tahun terakhir.

Dalam sehari, Hardiah rerata mendapatkan untung sekitar Rp 100.000. Uang tersebut dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan harian, juga ditabung untuk keperluan pendidikan anak.

”Setiap hari di sini, dari sore sampai malam. Biasa sekitar pukul 21.00, paling lama pukul 22.00 pulang ke rumah. Alhamdulillah bisa bantu ekonomi keluarga,” katanya.

https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/10/19/c61e0ba3-4bee-476a-bd46-a0d7de6614c0_gif.gif

Berjualan berbagai pangan lokal, tambah Hardiah, juga membuatnya bisa rutin memasak pangan lokal. Anak-anak dan keluarga kecilnya kembali rutin mengonsumsi berbagai olahan dan pangan lokal, khususnya jagung dan ubi.

”Anak-anak sekarang makan beras terus. Tapi, saya kasih terus mereka makanan lokal ini biar tidak hanya makan nasi saja sama mi instan,” katanya.

Sebagaimana terjadi di pulau-pulau kecil lain, warga di Pulau Muna juga mulai bergeser pola konsumsinya menjadi lebih dominan beras, gandum, dan aneka panganan instan. Namun, inisiatif Pasar Malam Pojok Wamelai bisa menjadi contoh praktik baik inisiatif warga untuk tetap menjaga ragam pangan lokal, terutama mengenalkannya kepada anak-anak.