WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo October 16, 2023

Freedom from Rice Crisis in Mentawai's Interior (bahasa Indonesia)

Country:

Authors:
cars and trucks in a rainforest
English

The diversity of food sources and culture which is the foundation of a sustainable local food system...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS
Warga sedang memasukkan pati sagu dalam bambu untuk membuat sagu bakar bambu atau sagu kaobbuk di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Minggu (24/9/2023). Sagu, keladi, dan pisang merupakan makanan pokok masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
A villager puts sago starch in a bamboo to make sago bamboo or sago kaobbuk in the interior of Siberut Island in Bekkeiluk Hamlet, Muntei Village, South Siberut District, Mentawai Islands, West Sumatra, on September 24, 2023. Sago, taro, and banana are the staple foods of the Mentawai tribe on Siberut Island, Mentawai Islands. Image by Yola Sastra. Indonesia.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.

In the face of soaring rice prices, many people on small islands are feeling the financial strain of purchasing rice. However, individuals like Parulian Sabaiket and Kalianus Sanambalu in the Mentawai Islands have maintained their loyalty to local food, particularly sago, keladi, and bananas, as their staple diet. Sago, a traditional Mentawai food, is readily available from their own family lands and can be processed into sago starch, providing a reliable carbohydrate source.

The families continue to produce sago starch independently, with one sago tree yielding a substantial amount of sago starch. Consuming sago, along with other local foods, such as keladi and bananas, has made these families food-independent, reducing their reliance on purchased carbohydrate sources, especially given the challenging economic conditions faced by farmers in the interior regions.

Sago and other local foods are essential for food security in the Mentawai Islands, and they contribute to price stability in the face of rice deficits. However, it also highlights a shift in dietary habits toward rice, particularly in sub-district centers, with the percentage of people consuming local foods decreasing.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Merdeka dari Krisis Beras di Pedalaman Mentawai

Di pedalaman Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, keluarga yang masih bertahan dengan sagu tak terganggu melambungnya harga beras.


Lonjakan harga beras membuat masyarakat di pulau-pulau kecil tercekik karena mesti membayar lebih mahal. Namun, Parulian Sabaiket (47) tak ambil pusing dengan kenaikan harga beras itu. Ia beserta istri dan putranya masih setia mengonsumsi sagu dengan keladi dan pisang sebagai sampingan. Pangan lokal masyarakat suku Mentawai ini masih melimpah di ladang keluarganya.

”Kami memang dari dulu jarang makan beras, sebulan sekali, bahkan setahun sekali. Apalagi, sekarang harga beras mahal,” kata Parulian, warga Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, yang ditemui pada Minggu (24/9/2023).

Parulian dan keluarga besarnya masih rutin menyagu—mengolah pohon sagu menjadi pati sagu—secara mandiri setidaknya dua bulan sekali. Ia bersama tiga sanak-saudaranya menebang empat batang sagu kemudian diolah menjadi pati sagu.

Satu batang sagu bisa menghasilkan 10 karung (kapasitas 20 kg) pati sagu. Tiap-tiap orang mendapat 10 karung sagu untuk keluarga masing-masing. Stok pati sagu tersebut disimpan di dalam sumur atau sungai kecil.

”Bagi keluarga saya, 10 karung itu tahan untuk dua bulan. Di rumah ada tiga orang, saya, istri, dan anak,” katanya.

Keluarga Parulian sehari-hari mengolah pati sagu menjadi sagu bakar bambu (sagu kaobbuk) atau sagu bakar daun (sagu kapurut) sebagai sumber karbohidrat sehari-hari. Sagu tersebut biasa dimakan dengan lauk berkuah, seperti sup atau tumis ikan sungai dan ulat sagu (tamra).

Sebagi selingan dari sagu, keluarga Parulian juga kerap makan keladi, selain pisang. ”Biasanya keladi dan pisang untuk sarapan. Siang dan malam bisa sagu,” katanya.

Menurut Parulian, dengan mengonsumsi sagu, keladi, dan pisang sebagai makanan pokok, keluarganya jadi mandiri pangan. Keluarganya tak perlu keluar uang untuk sumber karbohidrat.

Apalagi, saat ini, para petani di pedalaman, seperti Parulian, sedang kesulitan uang. Hasil komoditas pertanian, seperti pinang, harganya murah dan pisang susah dijual karena kapal jarang masuk.

Berbagai hidangan pangan lokal suku Mentawai, seperti sagu bakar daun atau sagu kapurut, sagu bakar bambu atau sagu kaobbuk, sup ayam kampung, telur rebus, dan lainnya, di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Selasa (26/9/2023). Sagu, keladi, dan pisang merupakan makanan pokok masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
Berbagai hidangan pangan lokal suku Mentawai, seperti sagu bakar daun atau sagu kapurut, sagu bakar bambu atau sagu kaobbuk, sup ayam kampung, telur rebus, dan lainnya, di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Selasa (26/9/2023). Sagu, keladi, dan pisang merupakan makanan pokok masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Foto oleh Yola Sastra. Indonesia.

Selalu tersedia

Sagu merupakan pangan endemik yang telah lama menjadi tradisi pangan leluhur orang Mentawai. Tanaman ini bisa bertahan di lahan-lahan marjinal, termasuk di lahan gambut yang asam ketika tanaman lain, termasuk padi, tidak bisa tumbuh baik.

Seperti sagu, keladi juga adaptif di lingkungan Siberut. Tanaman umbi-umbian ini bisa bertahan dari luapan air sungai yang kerap membanjiri ladang. Menurut Parulian, baik sagu maupun keladi selalu tersedia di lahan keluarga yang berada tak jauh dari rumahnya.

”Kami kadang memang kekurangan ikan (saat banjir), tetapi tidak pernah kekurangan sagu. Kalau sampai kekurangan sagu, itu karena malas saja manyagu,” ujar Parulian.

Kalianus Sanambalu (36), warga Dusun Bekkeiluk lainnya, mengungkapkan hal senada. Ia bersama istri dan lima anaknya juga masih menjadikan sagu dan pangan lokal lainnya sebagai makanan pokok. Keluarga ini jarang mengonsumsi beras.

”Makan kami sehari-hari sagu. Untung ada sagu, tidak perlu beli. Kalau tidak (ada sagu), bagaimana kami mau beli beras. Harga beras mahal, Rp 170.000 per karung, di sini,” kata Kalianus, Senin (25/9/2023).

Warga menumbuk umbi keladi rebus dan menyiapkan kelapa parut untuk membuat subbet, makanan karbohidrat masyarakat suku Mentawai, yang akan dihidangkan dalam ritual pemberkatan bayi di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Selasa (26/9/2023). Pangan lokal menjadi salah satu elemen kunci dalam berbagai ritual adat masyarakat suku Mentawai.
Warga menumbuk umbi keladi rebus dan menyiapkan kelapa parut untuk membuat subbet, makanan karbohidrat masyarakat suku Mentawai, yang akan dihidangkan dalam ritual pemberkatan bayi di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Selasa (26/9/2023). Pangan lokal menjadi salah satu elemen kunci dalam berbagai ritual adat masyarakat suku Mentawai. Foto oleh Yola Sastra. Indonesia.

Membiasakan anak-anak

Menurut Kalianus, selama ini, anak-anaknya dibiasakan makan pangan lokal. Selain sagu, juga ada keladi dan pisang sebagai pendamping. Bahkan, anak sulungnya yang tinggal di asrama SMP di pusat kecamatan masih mengonsumsi sagu.

Di asrama, pati sagu biasanya dibuat sagu sigajai atau sagu ongseng karena lebih praktis. Sagu sigajai disebut juga makanan anak kos. Di kos, repot untuk membuat sagu kapurut dan sagu kaobbuk.

Mengonsumsi pangan lokal, kata Kalianus, membuat keluarganya tidak mengalami ketergantungan terhadap pangan dari luar yang semuanya mesti dibeli. Apalagi, ekonomi para petani di pedalaman sedang sulit. ”Sagu penopang hidup masyarakat Mentawai,” katanya.

Pembiasaan makan sagu sejak masa anak-anak merupakan kunci keberlangsungan konsumsi pangan lokal di lingkungan keluarga Kalianus. Berbeda dengan banyak anak-anak di Mentawai yang sudah kecanduan beras dan mi instan.

Sementara itu, Markus Sabailatti (53), warga Dusun Salappa, Dusun Muntei, menuturkan, gempuran beras selama puluhan tahun hingga ke pedalaman Mentawai tidak membuat keluarganya meninggalkan sagu.

Waktu Markus kecil, orangtuanya dulu pernah bersawah hingga tahun 1984 karena disuruh pemerintah. Itu sejalan dengan program cetak sawah. Meskipun demikian, sagu tetap menjadi makan pokok mereka. ”Waktu bersawah, beras hanya sampingan, sagu tetap makanan utama,” ujarnya, Senin (25/9/2023).

Hingga Markus dewasa dan berkeluarga, sagu tetap menjadi makanan pokok. Memang satu dari dua anak kecilnya yang masih tinggal di rumah belum terbiasa makan sagu dan lebih suka nasi dan keladi. Walakin, ia terus mengajarkan agar anak sulungnya itu terbiasa makan sagu pangan dan lokal lainnya.

Warga menunjukkan ulat sagu atau tamra atau batra yang sudah menjadi kepompong di perladangan sagu keluarga mereka di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin (25/9/2023) malam. Ulat sagu merupakan salah satu sumber protein masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
Warga menunjukkan ulat sagu atau tamra atau batra yang sudah menjadi kepompong di perladangan sagu keluarga mereka di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin (25/9/2023) malam. Ulat sagu merupakan salah satu sumber protein masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Foto oleh Yola Sastra. Indonesia.

Menurut ayah tujuh anak itu, sagu adalah penopang kehidupan masyarakat Mentawai. Sagu selalu tersedia sepanjang tahun dan tahan terhadap berbagai kondisi cuaca, banjir ataupun kemarau.

”Banjir atau kering, tidak ada masalah dengan sagu. Tidak seperti padi, saat banjir hanyut, saat kering hampa, juga rentan diserang hama. Belum ada sejarahnya orang Mentawai mati kelaparan. Kalau ada, itu karena malas saja menyagu,” katanya.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kepulauan Mentawai Hatisama Hura mengatakan, saat ini kabupaten yang berhadapan dengan Samudra Hindia ini masih defisit beras. Pangan lokal membantu ketahanan pangan di wilayah pedalaman.

”Pangan lokal dari sagu, keladi, dan pisang sangat besar perannya untuk ketahanan pangan lokal kami di sini (Mentawai). Itulah yang membantu menstabilisasi harga (beras) di sini, selain intervensi dari pemerintah,” kata Hatisama, Jumat (13/10/2023).

Akan tetapi, sejauh ini, pola makan masyarakat Mentawai bergeser dari pangan lokal ke beras. Menurut Hatisama, di pusat-pusat kecamatan, seperti Sikakap, Sipora Utara-Selatan, dan Siberut Utara-Selatan, persentase masyarakat mengonsumsi pangan lokal tinggal 20 persen.

Adapun di pusat-pusat kecamatan lain, kata Hatisama, porsi konsumsi pangan lokal sekitar 50 persen. Di permukiman yang jauh dari wilayah pesisir konsumsi pangan lokal masih dominan, sekitar 60-70 persen.

Tanpa ada upaya serius untuk mempertahankan pangan lokal, hanya soal waktu masyarakat Mentawai akan meninggalkan sagu dan keladinya. Krisis beras yang saat ini terjadi seharusnya menjadi momentum untuk kembali ke ragam pangan lokal, yang terbukti lebih tahan guncangan.

RELATED CONTENT