WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo October 15, 2023

Rice and Instant Noodle Addiction in the Islands (bahasa Indonesia)

Country:

Authors:
cars and trucks in a rainforest
English

The diversity of food sources and culture which is the foundation of a sustainable local food system...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS
Sebanyak 38 anak muda mengikuti pelatihan kewirausahaan pengembangan pangan lokal di Sekolah Agro Sorgum, Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT, Selasa (8/8/2023). Mereka mengolah pangan lokal yang bahannya berasal dari desa masing-masing dan menyajikan hingga mempresentasikan. Total 24 jenis hidangan disajikan dan disantap bersama-sama. Kegiatan tersebut digelar Koalisi Pangan Baik, yang terdiri dari Yayasan Kehati, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Keuskupan Larantuka, dan Yayasan Ayu Tani.
A total of 38 young people participated in entrepreneurship training on local food development at Agro Sorghum School, Pajinian Village, West Adonara District, East Flores Regency, NTT, Tuesday (8/8/2023). They processed local food ingredients from their respective villages and presented them. A total of 24 types of dishes were served and eaten together. The activity was organized by the Good Food Coalition, which consists of Yayasan Kehati, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Keuskupan Larantuka, and Yayasan Ayu Tani. Image by Agus Susanto/Compas. Indonesia, 2023.

An English summary of this report is below. The original report, published in bahasa Indonesia in Kompas, follows.

The story highlights a concerning trend of changing dietary habits among children and communities on various Indonesian islands, particularly in Adonara Island, East Flores Regency, and several other small islands. Instant noodles and rice have become the dominant food choices, contributing to a shift away from local foods like sago, corn, and tubers. This shift has been increasingly noticeable over the last three decades.

Children like Mario have developed a preference for instant noodles, often starting as early as two years old. Many mothers mix porridge with noodle soup to make it more appealing, even for children under one year old. The story raises concerns about the long-term health implications of such dietary patterns.

Instant noodles have become a staple food, and rice consumption is on the rise, leading to a decline in the diversity of carbohydrate sources. The narrative also points out that instant noodles are sometimes consumed as "side dishes" to accompany rice, creating a new culinary habit. The reasons behind these shifts in consumption are complex and are often driven by economic factors, with rice being perceived as more affordable than sago, for instance.

As rice prices have surged, many islanders are struggling to afford their daily rice consumption. Some are trying to return to local foods like sago to cope with the rising costs, but this shift is not easy due to long-standing dietary habits and preferences. Instant noodles are also less expensive, which exacerbates their popularity.

In summary, the story highlights how economic factors, changing food preferences, and the availability of cheap alternatives like instant noodles are contributing to a shift away from traditional local foods in Indonesia, which raises concerns about the long-term impact on the health and food independence of these island communities.


As a nonprofit journalism organization, we depend on your support to fund journalism covering underreported issues around the world. Donate any amount today to become a Pulitzer Center Champion and receive exclusive benefits!


Candu Beras dan Mi Instan di Kepulauan

Lidah dan perut anak-anak di pulau-pulau kecil Indonesia telah terjajah oleh beras dan gandum yang tidak bisa diproduksi oleh tanah mereka.

Mario Alvares (4) merajuk minta nasi dan mi untuk sarapan pagi. Ditawari pisang rebus dan teh, ia tolak dengan tangisan. Ibunya, Natalia Bage (38), bergegas memasak nasi lalu ke kios membeli sebungkus mi instan. Tangis Mario pun reda.

”Mario maunya makan nasi dan mi. Ini sudah jadi kebiasaan,” ujar Natalia di kampungnya, Desa Klukengnuking, Kecamatan Wotan Ulamado, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Rabu (8/8/2023).

Menurut Natalia, Mario dan banyak anak di kampung itu mulai mengonsumsi mi saat usia dua tahun. Bahkan, banyak juga ibu di kampungnya yang mencampur bubur dengan kuah mi untuk makanan anaknya yang belum berusia satu tahun. Alasan mereka, biar rasa bubur lebih sedap. Pemberian makanan yang tidak tepat itu terbawa hingga besar.

Dua kakak Mario yang masih anak-anak juga kecanduan mi instan. Bahkan, mereka lebih sering mengonsumsi mi tanpa direbus terlebih dahulu. Bumbu mi dicampur, diremas dengan mi di dalam bungkusnya, dan dimakan mentah. Saking mencandu bumbu mi, anak-anak ini juga menambahkannya saat makan rujak. ”Kesalahan ada di kami, orangtua,” ujar Natalia mengakui.

Dua puluh besar negara pengonsumsi mi instan di dunia yang dirilis oleh Asosiasi Mi Instan Dunia (WINA) pada 11 Mei 2021.
Dua puluh besar negara pengonsumsi mi instan di dunia yang dirilis oleh Asosiasi Mi Instan Dunia (WINA) pada 11 Mei 2021.

Anak-anak yang kecanduan mi instan seperti dialami keluarga Natalia di Pulau Adonara ini juga kami temukan di pulau-pulau kecil lain. Survei kami pada Agustus-Oktober 2023 di 14 desa di tiga wilayah kepulauan, yaitu Nusa Tenggara Timur (Pulau Timor, Lembata, Adonara, Flores, Sumba Timur), Sulawesi Tenggara (Buton, Kaledupa, Muna, Wangi-Wangi), dan Sumatera Barat (Pulau Siberut) menunjukkan tren penyusutan keberagaman sumber pangan, baik karbohidrat maupun protein, dalam 30 tahun terakhir. Beras telah mendominasi dan menggeser aneka karbohidrat lokal, seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian.

Sejak 10 tahun terakhir, warga kepulauan ini juga mulai sering mengonsumsi pangan instan menggantikan ragam pangan segar. Selain mi instan yang menjadi pangan pokok, biskuit dan roti-roti dari gandum telah menggeser aneka jajanan lokal. Selain itu, ikan kaleng dan minuman berpemanis dalam kemasan juga merangsek hingga jauh ke pelosok perkampungan.

Data yang diolah dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) juga menunjukkan, konsumsi beras dan terigu di tiga wilayah kepulauan ini pada tahun 2022 telah menggeser aneka pangan lokal. Khusus di Mentawai, konsumsi sagu masih lebih tinggi dibandingkan terigu walaupun lebih tinggi daripada beras. Namun, anak-anak saat ini mulai enggan mengonsumsi sagu, terigu bakal segera menyalip konsumsi sagu di Mentawai.

Warga menunjukkan jamur sagu yang diambil di perladangan sagu keluarganya di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin (25/9/2023) malam. Jamur sagu merupakan salah satu sumber protein masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
Warga menunjukkan jamur sagu yang diambil di perladangan sagu keluarganya di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin (25/9/2023) malam. Jamur sagu merupakan salah satu sumber protein masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.

Nasi lauk mi

Mi instan tidak hanya diposisikan sebagai sumber karbohidrat, tetapi kerap dijadikan ”lauk” untuk menemani konsumsi beras. Nasi beras dengan mi instan atau sagu dengan mi telah menjadi menu yang sering dikonsumsi warga kepulauan.

”Kami sudah jarang makan sagu. Suami dan anak-anak tidak lagi mau makan sagu, tinggal saya yang masih bisa makan sagu untuk menghemat beras yang sekarang makan. Kalau ada uang, mereka (suami dan anak) setiap hari makan mi. Mi dengan nasi,” tutur Yusnimar Sadodolu, ibu rumah tangga dari Dusun Pariok, Desa Muntei, Siberut Selatan, yang ditemui pada Rabu (27/9/2023). Muntei berada di dekat ibu kota Kecamatan Siberut Selatan.

Merina Sagari (40), istri Kepala Desa Muntei, mengatakan, empat putranya juga tidak lagi mau makan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat, seperti sagu dan keladi. ”Pilihan mereka nasi, nasi, dan nasi. Kalau tidak, mogok makan. Semua makan nasi,” ujarnya.

Dalam seminggu, keluarga Merina menghabiskan satu karung berisi 10 kg beras untuk konsumsi keempat anak mereka. Untuk menghemat pengeluaran beras, belakangan Merina mencoba kembali makan sagu. ”Kami mengalah makan sagu. Anak tetap makan nasi, kami makan sagu. Anak-anak kalau dihidangkan sagu, bisik-bisik, ’Ndak kenyang, Mak, kalau kami makan sagu’,” kata Merina.

Pergeseran pola konsumsi dari sagu ke beras tidak hanya terjadi di sekitar pusat kecamatan, tapi juga pedalaman. Tinggal orangtua saja yang masih dominan makan sagu, sedangkan anak-anak terbiasa makan beras dan meninggalkan sagu.

Mateus Saleleubaja (47), warga Dusun Rogdok, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, mengatakan, keluarganya juga telah tergantung pada beras yang harus dibeli, padahal di sekitar kampungnya masih banyak pohon sagu. Saleleubaja yang tinggal bersama istri dan empat anaknya ini juga punya kebun sagu warisan.

Warga memanen ulat sagu atau "tamra"/"batra" yang dibudidayakan di perladangan sagu keluarga mereka di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin (25/9/2023) malam. Ulat sagu merupakan salah satu sumber protein masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
Warga memanen ulat sagu atau "tamra"/"batra" yang dibudidayakan di perladangan sagu keluarga mereka di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin (25/9/2023) malam. Ulat sagu merupakan salah satu sumber protein masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Foto oleh Yola Sastra. Indonesia, 2023.

Dusun Rogdok berada di sekitar aliran Sungai Rereiket yang baru terhubung dengan akses darat Jalan Trans-Mentawai yang terhubung ke Muara Siberut, pusat kecamatan, sejak lima tahun terakhir. Sebelumnya, jika menggunakan perahu menyusuri sungai perjalanan ke Rogdok butuh dua jam atau lebih, kini jarak tempuh ke pusat kecamatan sekitar 15 km atau 30 menit menggunakan sepeda motor.

Kemudahan akses transportasi ini mempercepat pergeseran pola konsumsi. Menurut Saleleubaja, dalam sebulan keluarganya harus membeli tiga karung beras, masing-masing 10 kg per karung, sedangkan konsumsi sagu maksimal sekitar 20 kg. ”Saat harga beras mahal ini, harus mengirit (beras) sebenarnya. Bagaimana lagi, anak tidak bisa lagi kenyang dengan sagu,” ujarnya.


Sebagai organisasi jurnalisme nirlaba, kami mengandalkan dukungan Anda untuk mendanai liputan isu-isu yang kurang diberitakan di seluruh dunia. Berdonasi sesuai kemampuan Anda hari ini, jadilah Pulitzer Center Champion dan dapatkan manfaat eksklusif!


Bahkan, menurut Mateus Sakulok (54), warga Dusun Rogdok, anak bungsunya sama sekali tidak mau makan sagu. ”Jijik," kata Sakulok, menirukan alasan anaknya tidak mau makan sagu. ”Mahal pun beras tetap harus dibeli. Kalau hanya saya yang makan, mungkin bisa makan sagu saja. Kalau anak-anak ini, mahal tidak mahal, harus kami beli,” lanjutnya.

Dibandingkan sagu yang menjadi pangan leluhur mereka, banyak anak di Pulau Siberut hanya bisa kenyang dengan beras. Bahkan, mereka kini memilih mi instan dibandingkan sagu.

Pekerja menyusun tual pohon sagu di Sungai Siberut sebelum dikirimkan ke pabrik pengolahan sagu di Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Selasa (26/9/2023). Pengusaha di Desa Muntei mengolah tanaman sagu di pabrik menjadi pati sagu untuk dijual ke pabrik tepung sagu ataupun ke warga untuk makanan pokok sagu bakar. Sagu, keladi, dan pisang merupakan makanan pokok masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
Pekerja menyusun tual pohon sagu di Sungai Siberut sebelum dikirimkan ke pabrik pengolahan sagu di Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Selasa (26/9/2023). Pengusaha di Desa Muntei mengolah tanaman sagu di pabrik menjadi pati sagu untuk dijual ke pabrik tepung sagu ataupun ke warga untuk makanan pokok sagu bakar. Sagu, keladi, dan pisang merupakan makanan pokok masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Foto oleh Yola Sastra. Indonesia, 2023.

Laporan kami sebelumnya tentang gastrokolonialisme di Merauke juga menunjukkan fenomena serupa. Mi instan telah menjadi pangan pokok kedua setelah beras di Kampung Zanegi dan Kampung Baad, di pedalaman Merauke, Papua Selatan. Sagu, yang banyak tumbuh di dua kampung ini dan selama turun-temurun menjadi pangan pokok warga telah tersisihkan, menjadi pangan yang dikonsumsi saat acara adat, oleh orang-orang tua.

Selain soal risikonya bagi kesehatan, kecanduan terhadap mi instan jelas membahayakan kemandirian pangan warga kepulauan, bahkan juga secara nasional. Bahan baku mi instan ini terutama dari gandum yang 100 persen dari impor.

Kembali ke sagu

Tingginya harga beras saat ini telah memukul ekonomi orang-orang kepulauan. Mereka harus membayar harga beras lebih mahal dibandingkan rata-rata nasional. Sebagian berupaya mengirit konsumsi beras dengan kembali ke pangan lokal, tetapi hal itu tidak mudah dilakukan.

Nurbay Satoinong (54), warga Dusun Puro 2, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, mengaku harus mengirit beras dan kembali mengonsumsi sagu. ”Saya mencoba kembali makan sagu karena terpaksa keadaan, beli beras mahal,” ucapnya.

Di tengah kenaikan harga beras, hasil komoditas pertanian utama warga tidak memadai, seperti pinang harganya terjun bebas dan pisang susah dijual karena kapal jarang masuk. Harga pinang yang tahun sebelumnya masih di atas Rp 10.000 per kg, sejak beberapa bulan terakhir tinggal Rp 1.000-Rp 2.000 per kg. Sementara itu, komoditas cokelat sudah hancur karena serangan jamur.

Warga menggemburkan pati sagu untuk membuat sagu bakar bambu atau "sagu kaobuk" di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Minggu (24/9/2023). Sagu, keladi, dan pisang merupakan makanan pokok masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
Warga menggemburkan pati sagu untuk membuat sagu bakar bambu atau "sagu kaobuk" di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Minggu (24/9/2023). Sagu, keladi, dan pisang merupakan makanan pokok masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Warga menggemburkan pati sagu untuk membuat sagu bakar bambu atau "sagu kaobuk" di pedalaman Pulau Siberut di Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Minggu (24/9/2023). Sagu, keladi, dan pisang merupakan makanan pokok masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Foto oleh Yola Sastra. Indonesia, 2023.

Nurbay saat ini tinggal di rumah bersama putra dan menantunya. Suaminya sudah tiada, sedangkan empat anak lainnya tinggal bersama keluarga masing-masing. Sebelum mengirit beras, Nurbay serta putra dan menantunya mengonsumsi beras sekitar dua karung (10 kg) dalam sebulan seharga Rp 135.000 per karung. Untuk menutupi kekurangan, dia membeli satu karung sagu berat 25 kg dari tetangga seharga Rp 50.000.

Menurut Nurbay, kembali ke sagu memang tidak mudah lagi. Sejak dia kecil, saat masih tinggal di hulu sungai Dusun Salappa, sudah diajarkan untuk memakan nasi. Petugas kesehatan sering menyampaikan bahwa beras lebih bergizi dibandingkan sagu.

Selain diajak makan nasi, pada tahun 1980-an itu, orangtua Nurbay juga didorong pemerintah membuat sawah. Namun, sawah itu tak bertahan lama karena gagal panen. ”Sekarang kami sudah terbiasa makan nasi. Kembali ke sagu memang susah. Tidak makan nasi selama seminggu saja sudah lemas. Anak-anak juga sudah tidak mau lagi makan sagu,” ujarnya.

Keluarga Nurbay juga tidak bisa lagi menyagu, yaitu mengolah pohon sagu menjadi pati sagu. Padahal, keluarga itu masih punya ladang sagu. ”Anak tidak pandai menyagu, sedangkan suami tidak ada lagi. Jadi, sagu pun sekarang dibeli,” ujarnya.

Pati sagu hasil olahan warga di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin (25/9/2023). Sagu, keladi, dan pisang merupakan makanan pokok masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
Pati sagu hasil olahan warga di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Senin (25/9/2023). Sagu, keladi, dan pisang merupakan makanan pokok masyarakat suku Mentawai di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Foto oleh Yola Sastra. Indonesia, 2023.

Sebagaimana di Mentawai, kenaikan harga beras juga dirasakan mencekik ekonomi warga Adonara. Namun, kembali ke pangan lokal tidak mudah dilakukan. Menurut Natalia, mereka tidak bisa kenyang kalau belum makan nasi.

Kini, keluarga Natalia rata-rata menghabiskan dua kilogram beras per hari. Di awal Agustus 2023, harga beras per kg di kampungnya Rp 14.0000. Artinya, dalam sehari mereka mengeluarkan uang paling sedikit Rp 28.000 untuk beli beras. Per bulan paling sedikit Rp 840.000. Jumlah itu lebih dari separuh gajinya sebagai guru. Di luar beras masih banyak kebutuhan lain. ”Pengeluaran paling banyak setiap bulan itu untuk beli beras,” ucapnya.

Padahal, harga beras saat ini terus merangkak naik. Terbaru, harga beras di pedalaman Adonara Rp 16.000 hingga Rp 17.000 per kg.

Menurut Natalia, kini banyak orang kampung yang terpaksa berutang di kios untuk beli beras. Mereka akan melunasinya setelah mendapat upah dari kerja serabutan atau menjual komoditas seperti kemiri dan pinang yang harganya juga tidak tentu.