WHERE WE REPORT


Translate page with Google

Story Publication logo March 12, 2021

The Sabuai Indigenous People Restore the Forest Through Sasi (bahasa Indonesia)

Country:

Author:
Aerial view of a mangrove forest in Sofifi, North Maluku province, Indonesia.
English

The Society of Indonesian Environmental Journalists aims to build a network of journalists and media...

author #1 image author #2 image
Multiple Authors
SECTIONS

Mulut Nickodemus Ahwalam (60) tampak komat kamit. Bahunya agak membungkuk menunjukan penghormatan. Kaki menyilang di sekitar pohon sambil membakar api yang berasal dari damar. Di sekelilingnya, sejumlah pria terlihat mengenakan karanunu atau kain berang yang diikat di kepala.

“Saya berdoa kepada  “Upu Lanite” (Tuhan) dan tete-nene moyang (leluhur) kami agar menjaga hutan kami dan juga pohon-pohon ini,” sebutnya.

Nickodemus adalah ketua Saniri atau ketua dari para tokoh adat di petuanan Negeri Sabuai. Sebuah Desa yang berada di Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku.

“Ritual adat ini kami buat agar tidak ada lagi penebangan kayu secara sembarangan oleh perusahan,” katanya, pertengahan Desember 2020 lalu.

Beberapa waktu lalu warga negeri ini berkonflik dengan sebuah perusahan perkebunan pala, CV Sumber Berkat Makmur (SBM). Meski telah dilarang menebang hutan di hutan keramat, namun perusahaan tetap membabat.


Masyarakat Adat Sabuai sedang melakukan ritual adat Sasi Pohon di Hutan Negeri Sabuai. Dok: Istimewa

Beberapa dahan kayu ditempatkan Nickodemus di sekitar pohon. Dia juga membalutkan kain berang di sekitar dahan kayu yang ditanam. “Itu tanda pohon ini serta pohon-pohon sekitarnya telah di-sasi,” ucapnya.

Ritual tradisi “Sasi Pohon” ini tujuannya untuk menjaga hutan. Tujuannya agar agar sumberdaya hutan tetap lestari.

Dengan larangan sasi memberi waktu yang cukup, agar sumber hayati yang ada di alam dapat memiliki waktu berkembang biak dan memulihkan populasi.

Menurut sejarahnya, sasi di Maluku telah ada sejak dahulu kala. Di Maluku hukum sasi telah menjadi praktik bersama dan menjadi komitmen bersama para tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat hingga masyarakat umum. Dengan demikian, tidak aneh jika ada istilah sasi gereja dan sasi mesjid, di luar sasi yang dilakukan secara tradisional.

Sejarah Sabuai

Sabuai sendiri mempunyai arti “tempat lewatnya air”, nama sebenarnya “saf-wai”. Negeri Sabuai memiliki lima Soa (marga), yakni Nisdoam, Yamarua, Patotnem, Ahwalam, dan Titasam.

Berdasarkan data statistik BPS 2020, Desa berpenduduk 314 jiwa dengan 89 kepala keluarga

“Kehidupan kami mulai dari Nunusaku, jalan ke Sopamaraina, [penyebaran] kami berbagi jalan karena semua jalan sendiri-sendiri,” tutur Ibeng Nisdoam, Ketua Saniri Negeri Sabuai.

Dari cerita para leluhur asal mereka dari Maraina, sebuah tempat di pegunungan Seram Barat. Bagi sebagian orang asli Seram, Maraina dipercaya sebagai tempat sakral, lokasi awal manusia Maluku berasal.

Dari situlah, para leluhur terpencar dan berpindah-pindah tempat hingga akhirnya menetap di tempat yang baru.

Lokasi yang dijadikan tempat ritual warga Sabuai sendiri dipercaya sebagai Negeri Lama, atau tempat permukiman leluhur yang disebut Yamaliho. Di situ mereka bercocok tanam dan mengakhiri hidup nomaden, saat menjumpai tempat yang aman untuk bermukim.

“Pekerjaan leluhur berkebun, menanam sagu dan lainnya. Kami belum mengenal beras waktu itu. Kami hanya berpakaian dari kulit kayu,” jelas tua adat di negeri Sabuai ini. Dia bilang itu sebelum zaman penjajahan.

“Selesai Penjajahan Belanda, terus Indonesia merdeka, kami berpindah tempat di salah satu tempat bernama “Lutnam”. Jaraknya 300 meter dari perkampungan disini.”

Kehidupan mereka mulai terusik setelah penjajahan masuk, mulai dari Portugis hingga Belanda, bahkan hingga kini. Meski demikian tatanan adat terus dijaga oleh masyarakat adat Sabuai, termasuk menjaga tempat keramat dan juga hutan.

“Setelah kami menempati tempat itu, kehidupan kami normal, rukun dengan kampung-kampung tetangga. Namun setelah datang perusahan ini tahun 2019 buat kami kecewa karena perusahan sudah melewati kesepakatan,” sesalnya.


Masyarakat Adat Sabuai saat melakukan aksi di Lokasi Camp CV SBM. Dok: Istimewa

***

Gelondongan kayu-kayu bertebaran di tepi sungai hutan Ahwale Sabuai. Kayu-kayu ini tak terpakai. Menurut warga yang pernah bekerja pada perusahan kayu ini, kayu-kayu ini dibuang oleh perusahaan, karena ukurannya tak sesuai.

Ini tampak ironis. Hutan yang selama ratusan tahun dirawat, dijaga dan dikeramatkan oleh masyarakat, kayunya hanya dianggap sebagai komoditas ekonomi semata oleh perusahaan.

Mengacu pada data Dinas Kehutanan Maluku, selama 18 bulan CV SBM beroperasi, sudah 17 ribu meter kubik kayu diangkut dari hutan-hutan di sekitar wilayah ini.

Sebagian kayu buangan berada di tengah sungai. Sebagian lagi hanyut bersama derasnya arus sungai ke arah muara. Air sungai pun berubah warna jadi merah, hasil erosi tanah yang terbawa arus sungai.

Pohon yang tumbang juga tampak di sekitar lereng Gunung Ahwale, lokasi hutan tempat pembalakan. Disitu, sebagian gunung tampak gundul karena tak lagi ada pepohonan.

Tak hanya itu, lokasi tempat keramat milik warga Sabuai juga telah rusak. Tanah dan pohon yang berada disitu juga ikut longsor.

“Tempat keramat dan negeri lama kami ikut hancur karena pembalakan kayu ini,” tutur Khaleb Yamarua, salah satu pemuda yang berjuang menentang kehadiran perusahaan.

Hutan yang dibabat oleh perusahan membuat bencana kian terus berdatangan bila musim hujan tiba. Sabuai berada di kaki pegunungan, dan dilewati oleh lima aliran sungai.

Permukiman berada di bawah lokasi pembalakan kayu. Tak aneh saat musim penghujan, banjir menerobos permukiman warga lewat Sungai Waipulu, sungai terdekat dengan perkampungan.

Selain merasuk hingga ke permukiman warga, banjir juga berimbas pada tanaman dan kebun warga. Akibatnya, beberapa tanaman gagal panen.

Tak hanya itu, mata air yang jadi sumber air warga juga banyak yang tertimbun tanah longsor.

“Sumber air atau mata air itu sendiri berasal dari hutan Ahwale itu, jadi kalau hutan rusak sudah tentu akan menutup sumber mata air itu sehingga kami kesulitan untuk mengkomsumsi air bersih,” lanjut Ibeng.


Prof. Dr. Agus Kastanya, Guru Besar Kehutanan di Universitas Pattimura Ambon. Foto Christ Belseran

Agus Kastanya, Guru Besar Pertanian dan Kehutanan Universitas Pattimura menyebut pulau-pulau di Maluku amat rawan dengan perubahan bentang lahan.

“Dengan membuka atau mengkonversikan hutan alam akan memicu terjadinya erosi, terjadinya banjir dan longsor,” jelas Agus. Hal ini menurutnya, tak lepas dari karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sempit dan pendek, termasuk di Pulau Seram.

“Jika wilayah-wilayah ini tidak di konservasi atau tidak dijaga kehancurannya akan sangat cepat. Apalagi ada fenomena pemanasan global dan perubahan iklim yang sangat cepat dan bisa dirasakan saat ini,”ungkapnya.

Sampai kapan hutan di Negeri Sabuai akan bertahan dan menjadi pelindung bagi warganya? Sejarah yang akan menguraikan kebenarannya kelak.