TEMPAT KAMI MELAPORKAN


Terjemahkan halaman dengan Google

Artikel Publication logo Desember 22, 2020

Dari Kerugian Negara hingga Ancaman Bagi Masyarakat

Negara:

Penulis:
Deforestation in Indonesia
Inggris

This report was carried out by Pontianak Post journalists with the support of a grant from the...

SECTIONS
Kebakaran hutan dan lahan di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Untan meninggalkan sisa. Pepohonan di kawasan hutan mengering dan mati.
Kebakaran hutan dan lahan di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Untan meninggalkan sisa. Pepohonan di kawasan hutan mengering dan mati. ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST

Dampak Kerusakan Lingkungan di Kawasan Hutan Pendidikan Untan

Aktivitas perambahan hutan tidak saja menyebabkan kerusakan ekosistem, namun juga menimbulkan kerugian negara dan mengancam sumber kehidupan masyarakat.

Air sungai meluap, menutupi ruas jalan saat Pontianak Post menggunjungi Dusun Penepat Kanan, Desa Peniti Dalam II, Kecamatan Segedong, Kabupaten Mempawah, 19 Juli 2020.

Genangan air juga hampir menenggelamkan pelataran dan sebagian rumah warga. Satu di antaranya rumah milik kepala desa, Fauzani Abdullah.

Kebetulan, rumah Fauzani berada persis di bibir sungai. Jaraknya sekitar lima meter dari teras rumahnya. Menurut Fauzani, genangan berasal dari luapan sungai yang tidak mampu lagi menampung debit air.

“Biasanya dua atau tiga hari air sudah surut. Tapi sekarang, hampir sebulan ini, air belum juga surut,” ujarnya.

Selain itu, kata Fauzani, kondisi lingkungan sekitar desanya telah rusak. Satu-satunya hutan  yang tersisa mulai dibabat. Belum lagi alih fungsi lahan menjadi perkebunan. “Saya rasa lingkungan sudah mulai rusak,” katanya.

Banjir yang terjadi tidak saja merendam permukiman, tetapi juga berimbas terhadap turunnya produktivitas pertanian dan perkebunan. Masyarakat kerap mengalami gagal panen.

Desa Peniti dalam II memiliki luas sekitar 21.000 hektare, terdiri dari 1.000 hektare lahan pertanian, 4.000 hektare lahan perkebunan rakyat, 10.000 hektare lahan masyarakat adat, perhutani, hutan negara dan hutan produksi masing-masing 2.000 hektare.

“Desa ini menjadi pertemuan dua anak sungai dari perusahan itu. Jika hujan datang, air sungai meluap menggenangi rumah, pekarangan serta lahan pertanian,” kata Kepala Desa Wajok Hilir, Abdul Majid.

Menurut Abdul Majid, Wajok Hilir pernah menjadi salah satu sentral penghasil komoditas pertanian di Kabupaten Mempawah. Terutama keladi, kelapa, dan nanas. Bahkan, desa ini pernah pemasok bahan keripik talas di Bogor pada 1990 hingga 2000.

Kondisi tersebut kini meredup lantaran sering terendam banjir. Terutama ketika musim hujan datang. Banjir membuat warga kesulitan untuk bercocok tanam. Apalagi, genangan air baru surut selama satu minggu.

Hilangnya Fungsi Hidrologi

Manajer Program Muller Schwaner Arabela Landscape, Anas Nasrullah mengatakan, banjir yang terjadi ditimbulkan karena perubahan tataguna lahan (landuse change). Perubahan ini bisa disebabkan beberapa faktor, salah satunya pembalakan liar.

Menurutnya, kawasan itu masuk dalam bentang alam Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Dikatakan Anas, dampak yang dirasakan masyarakat saat ini, disebabkan karena adanya penurunan muka air tanah pada saat musim kering. Ini menandakan kawasan hidrologi gambutnya sudah terganggu. “Hampir bisa dipastikan resapan air sudah terganggu,” katanya.

Karena terganggu, lanjutnya, secara vegetasi juga sudah berubah. Maka, kata Anas, kondisi ini membuat kawasan tersebut semakin rentan terhadap ganguan besar seperti banjir dan kebakaran lahan atau hutan.

Sementara itu, Direktur Yayasan Natural Kapital Indonesia Haryono menyebutkan, kerusakan lingkungan yang terjadi diakibatkan oleh pemanfaatan lahan gambut yang berlebihan di lanskap Gambut Pesisir Delta Kapuas.

Lanskap ekosistem rawa gambut pesisir Delta Kapuas merupakan bentang alam yang didelineasi berdasarkan fungsi ekologis-hidrologi ekosistem rawa gambut dan daerah aliran sungai.

Area ini meliputi enam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Kota Pontianak, Kubu Raya, sebagian dari Kabupaten Landak dan Mempawah dengan luas 561.000 hektar. Lanskap ini merupakan lanskap penyangga ekologis kota Pontianak dari jasa lingkungan yang dihasilkan dari lanskap tersebut.

Dalam lanskap tersebut, terdapat kubah gambut seluas 333 ribu hektar dan Kawasan hutan lindung seluas 61 ribu hektare.

Menurut analisis spasial Yayasan Natural Kapital Indonesia, kerusakan akibat pemanfaatkan lahan gambut berdampak terhadap rusaknya resapan air yang mengakibatkan banjir, tetapi juga kebakaran hutan dan lahan. Rata-rata kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seluas Kota Pontianak terjadi tiap tahunnya, dengan total luas mencapai 51.130 hektar sejak 2015-2019.

Kebakaran hutan yang massif di sisi lain semakin tingginya intensitas banjir di kawasan tersebut menjadi konfirmasi atas degradasi lahan gambut.

Degradasi lahan gambut yang dimulai dengan kanalisasi serta pembersihan lahan untuk perkebunan akhirnya mengakibatkan dome gambut kehilangan fungsi hidrologi.

Haryono mengatakan, pengelolaan pemanfaatan gambut perlu untuk diatur dengan mengoptimalkan sinergi dari para pihak terutama sektor swasta. Hal ini tak lepas dari adanya keterbatasan pemerintah daerah dalam pemulihan gambut.

“Pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut pada Lanskap Delta Kapuas harus ditata ulang dengan memanggil tanggung jawab dari para pihak yang selama ini telah mendapatkan manfaat dari pengelolaan sebelumnya,” katanya.

Ia juga mengatakan, pemulihan ekosistem gambut untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang pada gilirannya akan memberikan dampak positif pada tiap elemen di dalam lanskap.

“Produktivitas lanskap gambut harus tetap terjaga untuk kesejahteraan masyarakat, namun upaya konservasi Kehati dan pemulihan tetap harus dilakukan,” tambahnya.

Hal itu juga diungkapkan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Adi Yani. Menurutnya, kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari alih fungsi lahan dan kerusakan hutan dapat menimbulkan berbagai bencana, seperti perubahan iklim, kehilangan berbagai jenis spesies langka, kerusakan hutan/deforestasi, juga berdampak pada hilangnya habitat berbagai jenis spesies yang tinggal di dalamnya.

Kerusakan kawasan hutan pendidikan misalnya, kata Adi Yani, lambat laun akan menyebabkan terganggunya siklus air, di mana pada kawasan hutan pendidikan itu sebagian besar adalah lahan gambut yang rentan terjadinya bahaya kebakaran hutan ketika musim kemarau.

Selain itu juga mengakibatkan banjir, yang berdampak pada kerugian ekonomi.

“Jika hutan rusak, maka sumber penghasilan masyarakat juga akan menghilang,” katanya.

Kerusakan hutan juga menyebabkan tanah menjadi lahan kritis, sehingga akan sulit dipergunakan untuk bertani. Bencana banjir yang ditimbulkan akan menyebabkan kerugian harta dan benda milik masyarakat.

Kerugian Negara

Guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura mengatakan, aktivitas perambahan itu tidak saja menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi juga menimbulkan kerugian negara. Menurutnya, estimasi kerugian negara dapat dihitung dari jumlah tegakan kayu yang hilang.

Dalam aktivitas perambahan hutan pendidikan tersebut setidaknya ada ratusan batang kayu yang hilang, terdiri dari 361 batang kayu bulat, 113,2 kubik kayu balok, dan 2,3 kubik kayu papan.

Jika dihitung jumlahnya berdasarkan penetapan harga patokan hasil hutan untuk perhitungan provinsi sumber daya hutan dan ganti rugi tegakan, maka estimasi kerugian negara mencapai Rp367.356.000.

Sedangkan total keseluruhan kehilangan pajak negara dari PSDH DR mencapai Rp 75.252.200. “Ini belum termasuk kerugian yang dihasilkan dari nilai non kayu, vegetasi, keanekaragaman hayati, dan jasa-jasa yang dihasilkan hutan, seperti karbon,” kata Gusti.

Sementara untuk kerugian nilai non kayu, lanjut Gusti, bisa dihitung dari tingkat pohon, tingkat tiang, tingkat pancang, dan tingkat semai yang hilang dikalikan luasan lahan dan harga tiap satu ton karbon yang dihasilkan.

Jika 1 Ton CO2 dihargai US$ 5 /Ton = $ 2752,5 x Rp 14000 = Rp. 38.535.000 x 300 Ha, maka kerugian yang dihasilkan dari jasa karbon mencapai Rp. 11.560.500.000.

“Itu baru dari jasa Carbon Trade saja, belum termasuk nilai intangible services lainnya seperti pengatur tata air/daerah aliran sungai untuk mencegah banjir, keindahan landscape, kesejukan dan berbagai jasa lingkungan lainnya,” jelasnya.

Maka, lanjut Gusti, jika ditotal, nilai kayu _termasuk potensi pajak negara dari PSDH DR, dan nilai non kayu mencapai Rp. 12.003.108.000.

Menurutnya, kerugian ini tergolong minimal, jika mengikuti harga pasar maka jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat bahkan lebih, apalagi bila ditambahkan terperinci mengenai nilai intangible services maka semakin meningkat kerugiannya. (*)