TEMPAT KAMI MELAPORKAN


Terjemahkan halaman dengan Google

Artikel Publication logo Desember 22, 2020

Konflik di Kawasan Hutan Produksi Untan

Negara:

Penulis:
Deforestation in Indonesia
Inggris

This report was carried out by Pontianak Post journalists with the support of a grant from the...

SECTIONS
Abdul Hadi, Ketua RT Dusun Kopiang memperlihatkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Abdul Hadi, Ketua RT Dusun Kopiang memperlihatkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST

Hak Ulayat Terancam Hilang

Penetapan status kawasan hutan tidak jarang menimbulkan konflik sosial, terutama bagi masyarakat yang berada di dalam kawasan. Dusun Kopiang adalah satu di antaranya. Masyarakat kesulitan mendapatkan pengakuan hak ulayat karena terganjal status kawasan. Lantas, bagaimana nasib mereka? Berikut laporan wartawan Pontianak Post, Arief Nugroho.

“KAMI ibarat menumpang di tanah sendiri,” ungkapan itu keluar dari Abdul Hadi, warga Dusun Kopiang, Desa Mandor, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak saat ditemui Pontianak Post, di kediamannya, awal Oktober 2020.

Ungkapan Abdul Hadi bukan tanpa sebab. Menurut Abdul Hadi, perjuangan masyarakat Dusun Kopiang untuk mendapatkan pengakuan alas hak atas ulayat mereka nyaris pupus karena terganjal status kawasan.

Pemukiman dan lahan tempat mereka mencari hajat hidup berada di kawasan hutan produksi yang kini dikelola oleh Universitas Tanjungpura, berdasarkan nomor SK.656/Menlhk/Setjen/PLA.0/8/2016, pada 26 Agustus 2016.

Kawasan itu seluas 19.622 hektare, membentang di tiga kabupaten, Kabupaten Mempawah, Kubu Raya dan Landak. Kawasan itu juga meliputi 11 desa yang berada di dalam maupun di luar kawasan.

Dusun Kopiang merupakan satu dari beberapa dusun di Kabupaten Landak yang wilayahnya berada di kawasan hutan pendidikan itu. Lokasinya berada di 80 kilometer atau sekitar empat jam perjalanan dari Kota Pontianak.

Untuk bisa tiba di susun itu, saya harus melintasi jalan bekas galian tambang sepanjang 12 kilometer, di dalam kawasan Cagar Alam Mandor. Yakni, sebuah kawasan lindung yang ditetapkan sejak kolonial Belanda seluas 3.080 hektar.

Kondisinya gersang. Tidak ada vegetasi yang tumbuh di sana. Hanya semak belukar dan hamparan pasir. Menurut data Kementerian Lingkugan Hidup dan Kehutanan, setidaknya 700 hektar dari total luasan kawasan telah rusak akibat pertambangan emas ilegal.

Padahal, kawasan ini pernah dijuluki sebagai miniatur hutan Kalimantan. Di dalamnya terdapat vegetasi yang didominasi oleh beberapa jenis pohon, seperti meranti, rengas, jelutung dan tengkawang.

Selain itu, kawasan ini terdapat 15 jenis anggrek, di antaranya, anggrek hitam, anggrek kuping gajah, anggrek tebu, anggrek lilin kecil, dan beberapa jenis tanaman kantong semar atau Nephenthes.

Kawasan itu juga memiliki potensi fauna yang dahulunya pernah dijumpai di sana. Beruang madu, kelempiau, kancil, rusa sambar, binturong, dan beberapa jenis musang serta landak.

Namun, yang terdengar kini hanya suara mesin dompeng, yaitu mesin yang digunakan para penambangan emas.

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam dari ibu kota kecamatan Mandor, saya tiba di dusun itu. Bertemu dengan Abdul Hadi, Kartopo (47), dan Kontan (81). Mereka adalah tokoh masyarakat di sana.

Menurut Abdul Hadi, upaya untuk mengajukan surat tanah dan hak ulayat sudah beberapa kali dilakukan melalui Kepala Desa Mandor. Namun, hingga saat ini belum membuahkan hasil. “Kalau seperti ini, kami ibarat menumpang di tanah sendiri,” ungkapnya.

Padahal, kata Abdul Hadi, Dusun Kopiang sudah ada jauh sebelum ada penetapan status kawasan hutan produksi (HP).

“Sebelum ada HP, kami sudah hidup di sini. Tapi kenapa kami tidak bisa mendapatkan surat tanah?” katanya.

Menurutnya, masyarakat Dusun Kopiang juga memiliki surat adat sebagai bukti kepemilikan wilayah.

“Leluhur kami meninggalkan surat adat sebagai bukti ulayat kami. Artinya, wilayah ini adalah wilayah kami,” bebernya.

Surat Adat


SURAT ADAT: Kontan (81) warga Dusun Kopiang, Desa Mandor, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak menunjukkan surat pengakuan milik adat.
ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST

Kartopo beranjak dari tempat duduknya. Ia lalu mengambil selembar kertas berisi surat pengakuan milik adat tahun 1952.  Surat itu ditulis menggunakan huruf sambung dengan ejaan lama oleh empat orang sesepuh mereka. Kartopo dan warga Dusun Kopiang menyakini surat pengakuan adat itu sebagai bukti atas alas hak tanah ulayat mereka.

Ada tiga pernyataan yang tertulis dalam surat itu, pertama, menyatakan bahwa mereka bersama 16 orang lainnya memiliki tanah adat dijadikan kebun getah (karet) yang ditanami orangtua mereka pada tahun 1935, masing-masing seluas 20 hektar.

Kedua, menyatakan bahwa mereka memiliki tanah adat untuk pertanian yang terletak disepanjang sungai Mandor, mulai dari Sungai Mangkok sampai batas Gunung Sengiang seluas 1500 depa atau 2.700 meter (konversi 1 depa= 1,8 meter).

Ketiga, menyatakan bahwa semua penduduk asal, boleh berladang di lingkungan tanah adat tersebut asalkan memberitahu kepala kampung. Tanah adat ini akan dibagikan rata kepada keturunan masing-masing untuk tanah pertanian.

Surat pengakuan tanah adat itu ditandatangani oleh Kepala Kampung bernama A. Ayan Ras pada 27 Juli 1987. “Jika melihat surat ini, tanah ini milik kami. Tapi kenapa kami tidak bisa memiliki sertifikat tanah?” tanya Kartopo. Ia merupakan anak dari Kepala Kampung itu.

Hal serupa juga disampaikan Kontan, sesepuh masyarakat Dusun Kopiang. Kontan merupakan mantan wakil kepala kampung yang pernah mendampingi ayah Kartopo. Saat ini, Kontan berusia 81 tahun. Meski usianya tak lagi muda, ingatannya masih cukup baik. Ia bahkan dapat menjelaskan batas-batas wilayah seperti yang tertera di dalam surat itu. “Gunung ini ada di sana. Sekarang menjadi hutan lindung,” katanya.

Selain surat pengakuan adat, kata Kontan, masyarakat Dusun Kopiang juga memiliki lahan yang dianggap sebagai asal usul wilayah kelola mereka. Lahan itu berada di ujung dusun berbatasan dengan cagar alam dan hutan lindung.

“Kami memiliki lahan asal. Lahan ini ditanami pohon durian oleh para leluhur. Tempat itu sekaligus menjadi tempat ritual masyarakat,” jelasnya.

Pungutan Pajak


BUKTI PAJAK: Abdul Hadi, Ketua RT Dusun Kopiang memperlihatkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST

Meski tidak memiliki surat tanah (sertifikat hak milik), dan wilayahnya berada di kawasan hutan produksi, masyarakat Dusun Kopiang tetap dipungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

“Ini yang membuat kami heran. Apa dasar pemerintah memungut pajak. Sementara kami sendiri tidak tahu berapa luas bangunan dan lahan kami,” kata Abdul Hadi.

Setiap tahun, masyarakat Dusun Kopiang menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikeluarkan Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Landak.

“Kami sudah melakukan protes, tetapi gagal. Setiap tahun kami mendapatkan SPPT PBB,” kata pria yang juga sebagai Ketua RT Dusun Kopian itu.

Anehnya, lanjut Abdul Hadi, luasan tanah dan bangunan dibuat hampir sama. Ia mencontohkan SPPT PBB milik Kartopo. Dalam SPPT PBB itu tertera luas tanah (bumi) seluas 300 meter persegi dan luas bangunan 40 meter persegi.

SPPT milik Kartopo itu sama dengan milik warga lain bernama Bece. “Jadi apa sebenarnya dasar pemerintah memungut pajak ini?” Katanya lagi.

Upaya Pelepasan Kawasan


PETA KAWASAN: Robertus Haryanto, Kepala Desa Mandor memperlihatkan peta kawasan Dusun Kopiang, yang sebagian besar berada di kawasan hutan produksi.
ARIEF NUGROHO/PONTIANAK POST

Kepala Desa Mandor Robertus Haryanto mengaku sudah mengajukan pelepasan kawasan yang menjadi hak masyarakat Dusun Kopiang melalui program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria).

Menurutnya, pengajuan pelepasan kawasan itu dilakukan sejak tahun 2017. Namun hingga kini belum mendapat persetujuan.

“Saya sudah berkomunikasi dengan BPKH, untuk rencana pelepasan kawasan,” kata Robertus kepada Pontianak Post.

Hanya saja, kata Robertus, wilayah yang akan dibebaskan sebatas pemukiman. Luasnya tujuh hektar saja.

Padahal, kata Robertus, berdasarkan peta wilayah, Dusun Kopiang memiliki luas lebih dari 4.000 hektar, yang sebagian wilayahnya meliputi kawasan cagar alam dan hutan lindung.

“Setelah dicek, ternyata wilayahnya juga berada di kawasan hutan produksi,” katanya.

Saat ini, hutan produksi tersebut masuk dalam wilayah kelola Universitas Tanjungpura Pontianak yang difungsikan sebagai hutan pendidikan.

Bupati Landak dr. Karolin Margret Natasa mengatakan, pihaknya terus mendorong masyarakat agar segera mengusulkan hutan adat.

Sejak 2018, kata Karolin, pihaknya telah mengajukan usulan 22.492 hektar hutan adat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai tindak lanjut dari percepatan penetapan hutan adat oleh Pemerintah RI.

Menurut Karolin, bagi masyarakat adat, hutan merupakan darah dan jiwa yang menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan mereka. Selama berabad-abad hutan dan alam membentuk sebuah identitas masyarakat.

Menurutnya, hutan adalah rumah sekaligus ibu bagi masyarakat adat dan selama ini masyarakat adat menjadikan hutan sebagai sumber kehidupan. Wajar, jika masyarakat adat mencoba mempertahankan eksistensi mereka terhadap hutan yang menjadi nadi bagi kehidupan mereka.

“Ibarat sebuah jantung, hutan adat memberikan kehidupan bagi masyarakat adat dan sebagai titipan bagi generasi mereka selanjutnya,” katanya.

Dengan pemberlakuan hutan adat, lanjut Karolin, maka masyarakat akan memiliki hak dan kewajiban untuk mengelola dan memanfaatkan hutan, tanpa perlu khawatir akan jeratan hukum yang selama ini mengancam aktivitas masyarakat.

Dengan hutan adat itu juga, masyarakat adat dapat mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya mereka, sehingga ini akan menjaga kelestarian budaya dan menjadi bekal serta warisan bagi generasi mendatang.

Program TORA

Pengelola hutan pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Prof Gusti Hardiansyah mengatakan, pihaknya telah melakukan identifikasi dan rekonstruksi batas wilayah. Termasuk batas wilayah masyarakat.

“Kami sudah melakukan rapat untuk membahas batas-batas yang perlu direkonstruksi. Setidaknya ada 130 kilometer yang harus direkonstruksi,” kata Gusti.

Terkait dengan pelepasan kawasan, ia mengaku sudah membahasnya. Menurut Gusti, ada sekitar 15 sampai 30 hektare kawasan yang akan di-enclave sesuai dengan areal yang telah diusulkan.

“Sekarang sedang kami analisis. Di luar itu, kami ingin ada area perhutanan sosial. Intinya, kami sebagai pengelola KHDTK mendukung saja,” terangnya.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Adi Yani mengatakan, penetapan kawasan hutan menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jika dalam kawasan hutan terdapat lahan pertanian, perkebunan milik masyarakat bahkan pemukiman, maka, bisa diajukan melalui program TORA.

“TORA itu tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan negara atau hasil perubahan batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh KLHK,” katanya.

Berdasarkan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) adalah tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi.

“Ini untuk memberikan kepastian hukum dan legalisasi yang sah kepada masyarakat,” lanjutnya.

Sementara, terkait dengan hak kelola masyarakat yang beraada di dalam kawasan, akan diberikan akses kelola hutan oleh masyarakat melalui Program Perhutanan Sosial.

Program perhutanan sosial, kata Adi Yani, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola pemberdayaan dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian hutan.

Program tersebut membuka kesempatan bagi masyarakat sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan areal hutan kepada pemerintah, untuk selanjutnya diproses dan jika sudah disetujui, maka masyarakat berhak untuk mengelola (mengolah dan mengambil manfaat) dari hutan secara berkelanjutan. (*)

RELATED CONTENT